tirto.id - Arsenal kalah telak dari Chelsea dalam final Liga Eropa di Baku Olympic Stadium, Kamis (30/5/2019) dini hari tadi. Satu gol Alex Iwobi tak cukup menyelamatkan Meriam London yang gawangnya dibobol empat kali, masing-masing oleh Olivier Giroud, Pedro
Rodríguez, serta
brace Eden Hazard.
Dalam pertandingan yang mempertemukan dua klub London itu, pelatih Arsenal Unai Emery sebenarnya tidak salah memilih strategi. Mengandalkan skema 3-4-1-2, di awal laga mereka mampu mengimbangi permainan Chelsea.
Chelsea bahkan tak berkutik pada menit-menit awal. The Blues tidak bisa membangun serangan dari sisi sayap karena dua fullback-nya, Emerson Palmieri dan César Azpilicueta, dijaga ketat Sead Kolašinac dan Ainsley Maitland-Niles tiap kali mendapat bola. Di sisi tengah, skuat asuhan Maurizio Sarri juga tak mampu melawan lantaran kreator ulung mereka, Jorginho, dikawal rapat Mesut Özil.
Namun, permainan menjanjikan Arsenal hanya bertahan 30 menit.
Özil Tak Konsisten Memainkan 'Peran Ramsey'
Dalam pertemuan terakhir dengan Chelsea Januari lalu, Arsenal berhasil menang dua gol tanpa balas. Namun,
Squawka dan
Statman Dave menyebut faktor utama keberhasilan itu bukanlah formasi 4-4-2 berlian yang mereka pakai, tetapi faktor menonjolnya peran Aaron Ramsey untuk membatasi ruang gerak Jorginho.
Pada laga ini, meski mengandalkan 3-4-1-2, Emery menerapkan pendekatan yang tak beda jauh. Hanya saja dia terpaksa mengandalkan Özil sebagai marker alternatif untuk menangkal Jorginho karena Ramsey cedera. Özil sebenarnya melakukan ini dengan baik selama 30 menit pertama, namun segalanya buyar setelahnya.
Hilangnya peran Özil meredam Jorginho langsung terdeteksi pada menit ke-33. Jorginho, yang punya ruang gerak lebih, sampai bisa maju ke pertahanan Arsenal dan mengirim umpan kunci ke arah Emerson Palmieri. Emerson mengkonversinya dengan tembakan tepat sasaran, namun masih dapat diredam kiper Petr Čech.
Seolah jadi alarm tambahan, Jorginho kembali menciptakan momen penting lima menit kemudian. Dia mengirim umpan akurat yang disambar Olivier Giroud dengan sepakan keras, tapi lagi-lagi masih dapat diredam
Čech.
Puncaknya, bola-bola dari kaki Jorginho yang kerap bertukar peran dengan Mateo Kovačić serta N'Golo Kanté berujung tiga gol cepat pada awal babak kedua.
Mantan pemain Arsenal dan Chelsea yang hari itu menjadi komentator siaran di BT Sport, Cesc Fàbregas, juga mengatakan salah satu biang kekalahan Arsenal adalah kegagalan Özil meredam Jorginho. Bahkan, Fabregas turut mengkritik performa Özil yang tak kalah buruk ketika memandu serangan.
"Saya rasa klub membelinya karena benar-benar mengharapkannya jadi pemimpin, panutan bagi tim. Tapi, Özil belum menunjukkannya. Saya tidak berlatih dengannya secara langsung, tapi saya tidak yakin dia punya kapasitas untuk itu," jelasnya.
Kegagalan Özil memimpin lini tengah bisa dibuktikan pula dengan statistik. Selama 77 menit beraksi di atas lapangan, menurut hitung-hitungan Whoscored, Özil kehilangan bola lima kali, terbanyak di antara pemain lain.
Emery Telat Bereaksi, Pertahanan Kacau
Di sisi lain, pelatih Chelsea Maurizio Sarri sebenarnya minim melakukan manuver. Sejak awal sampai akhir dia konsisten dengan skema 4-3-3 yang memang merupakan formasi andalannya. Fakta ini dibeberkan oleh Hazard setelah pertandingan.
"Saat turun minum, pelatih hanya menginstruksikan kepada kami untuk tetap bermain menyerang, memainkan sepakbola kami," ungkapnya.
Perbedaan kontras Chelsea di paruh kedua cuma satu: Hazard lebih banyak turun menjemput bola. Beberapa kali dia juga terlihat bertukar posisi dengan Pedro. Langkah ini kemudian bikin koordinasi pertahanan Arsenal kacau.
Arsenal tidak merespons dengan baik. Emery bahkan telat melakukan pergantian formasi untuk menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Saat Arsenal sudah kebobolan tiga gol, dia baru mengubah skemanya dari 3-4-1-2 jadi 4-2-3-1.
Perubahan Emery sebenarnya cukup berdampak. Terbukti, Meriam London sempat beberapa kali keluar dari tekanan dan akhirnya memperkecil ketertinggalan lewat gol Iwobi. Namun, kebijakan yang tidak dibarengi dengan permainan konsisten para pemain bertahan kembali jadi bumerang. Pada menit akhir, gol keempat Chelsea, lagi-lagi lahir lewat kaki Eden Hazard, seolah menyudahi perlawanan Arsenal.
"Sekali lagi, hasil ini merepresentasikan kapasitas pertahanan Arsenal yang begitu mudah dikendalikan oleh lawan. Mereka, para pemain bertahan, juga banyak membuat keputusan keliru yang merugikan," tutur pengamat sepakbola ESPN, Stewart Robson.
Seperti kata Robson, bukan cuma gol terakhir, tiga gol pertama Chelsea pun tidak lepas dari buruknya kualitas bek Arsenal. Gol pertama dari sundulan Giroud misal, berasal dari umpan dari titik yang tak terlalu menyulitkan dan seharusnya bisa diantisipasi dengan baik oleh Laurent Koscielny.
Emery mengaku gol itu bikin para pemain terpukul dan kehilangan fokus di sisa pertandingan.
"Gol pertama mengubah segalanya. Setelahnya kami berupaya mengejar, tapi gol kedua Chelsea kemudian datang begitu cepat," tutur Emery kepada BT Sport.
Hazard Tak Tersentuh
Penampilan buruk Arsenal tidak lantas bikin Chelsea layak disebut tim yang menang cuma karena keberuntungan. Meski tak banyak melakukan inovasi, konsistensi
The Blues bermain menyerang patut diapresiasi.
Dan orang yang paling patut mendapatkannya adalah Eden Hazard. Diberi panggung 90 menit penuh, Hazard membayar kepercayaan Sarri sampai lunas.
Whoscored menilai Hazard dengan angka tinggi, 9,7/10. Dari delapan upaya dribel di pertahanan lawan, lima di antaranya dia lakukan dengan sukses. Tiga tembakan tepat sasaran (dua di antaranya jadi gol), serta akurasi umpan menyentuh 87 persen juga jadi bukti performa bagus pemain asal Belgia tersebut.
"Seperti yang Anda ketahui, Hazard adalah pemain yang hebat, meski saya perlu dua sampai tiga bulan untuk memahami sikapnya sebagai individu. Tapi begitu Anda memahaminya, dia adalah orang yang hebat," ujar Sarri.
Hazard juga jadi sosok vital bagi rekan-rekannya. Giroud yang tampil mengecewakan di babak pertama terbukti bermain lebih efektif pada paruh kedua. Beberapa kali Hazard memaksimalkan dengan baik kemampuan Giroud sebagai pemantul bola.
Sarri jelas mesti berterima kasih kepada pemainnya ini. Sebab, dengan hasil ini Sarri membuktikan dirinya masih layak dipertahankan klub, setidaknya sampai musim depan. Ini juga merupakan gelar bergengsi pertama Sarri sejak memutuskan jadi pelatih profesional pada 2002.